Sabtu, 20 Juni 2009

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam


Berbicara mengenai pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari persoalan kemiskinan sebagai objek dari pemberdayaan itu sendiri.

Pemberdayaan mempunyai filosofi dasar sebagai suatu cara mengubah masyarakat dari yang tidak mampu menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Sedangkan kemiskinan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, ada 2 (dua) kriteria dasar dalam persoalan kemiskinan. Pertama adalah kemiskinan secara ekonomi.

Dalam hal ini, kemiskinan dapat dilihat dengan indikator minimnya pendapatan masyarakat (kekurangan modal), rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan gizi, dan sebagainya, yang berpengaruh besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kedua, kemiskinan yang dipengaruhi pola tingkah laku dan sikap mental masyarakat,berbagai bentuk penyimpangan sosial, sikap pasrah (menerima apa adanya) sebelum berusaha,merasa kurang berharga, perilaku hidup boros, malas—walau dalam hal ini,Greetz pernah menghibur kita bahwa orang Jawa (maksudnya Indonesia) itu miskin bukan karena malas, tetapi justru malas karena dirundung kemiskinan yang berkepanjangan.

Namun, sikap-sikap di atas mempunyai pengaruh besar terhadap rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam dirinya sendiri. Dengan melihat kenyataan di atas tadi dapat kita tarik sebuah benang merah penilaian adanya kebijakan yang salah dalam pembangunan ekonomi pada tingkat makro sehingga pemerataan pembangunan dari konsepsi keadilan sosial tidak mengenai sasaran.

Kemudian penyimpangan dari pola tingkah laku dan nilai dasar norma yang berlaku dalam hal ini nilai-nilai dasar Islam. Persoalannya menjadi jelas,tinggal yang kita perlukan adalah analisis bagaimana Islam memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Ada dua hal mendasar yang diperlukan dalam mewujudkan “pemberdayaan menuju keadilan sosial” tersebut.

Pertama adalah pemahaman kembali konsep Islam yang mengarah pada perkembangan sosial kemasyarakatan, konsep agama yang dipahami umat Islam saat ini sangat individual, statis, tidak menampilkan jiwa dan ruh Islam itu sendiri. Kedua, pemberdayaan adalah sebuah konsep transformasi sosial budaya.Oleh karenanya,yang kita butuhkan adalah strategi sosial budaya dalam rangka mewujudkan nilai-nilai masyarakat yang sesuai dengan konsepsi Islam.

Kemiskinan dalam Perspektif Islam

Kemiskinan dalam pandangan Islam bukanlah sebuah azab maupun kutukan dari Tuhan. Namun disebabkan pemahaman manusia yang salah terhadap distribusi pendapatan (rezeki) yang diberikan.

Alquran telah menyinggung dalam surat 43 ayat 32. Perbedaan taraf hidup manusia adalah sebuah rahmat sekaligus “pengingat”bagi kelompok manusia yang lebih “berdaya” untuk saling membantu dengan kelompok yang kurang mampu. Pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan di kalangan umat Islam, sikap simpati dan empati terhadap sesama harus di pupuk sejak awal.Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7.

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa kemiskinan lebih banyak diakibatkan sikap dan perilaku umat yang salah dalam memahami ayat-ayat Allah SWT,khususnya pemahaman terhadap kepemilikan harta kekayaan. Dengan demikian,apa yang kemudian disebut dalam teori sosiologi sebagai “kemiskinan absolut” sebenarnya tidak perlu terjadi apabila umat Islam memahami secara benar dan menyeluruh (kaffah) ayat-ayat Tuhan tadi. Kemiskinan dalam Islam lebih banyak dilihat dari kacamata nonekonomi seperti kemalasan,lemahnya daya juang, dan minimnya semangat kemandirian.

Karena itu, dalam konsepsi pemberdayaan, titik berat pemberdayaan bukan saja pada sektor ekonomi (peningkatan pendapatan, investasi, dan sebagainya), juga pada faktor nonekonomi. Rasulullah SAW telah memberikan suatu cara dalam menangani persoalan kemiskinan. Konsepsi pemberdayaan yang dicontohkan Rasulullah SAW mengandung pokok-pokok pikiran sangat maju, yang dititikberatkan pada “menghapuskan penyebab kemiskinan”bukan pada “penghapusan kemiskinan”semata seperti halnya dengan memberikan bantuan- bantuan yang sifatnya sementara (temporer).

Demikian pula, di dalam mengatasi problematika tersebut, Rasulullah tidak hanya memberikan nasihat dan anjuran, tetapi beliau juga memberi tuntunan berusaha agar rakyat biasa mampu mengatasi permasalahannya sendiri dengan apa yang dimilikinya, sesuai dengan keahliannya. Rasulullah SAW memberi tuntunan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia dan menanamkan etika bahwa bekerja adalah sebuah nilai yang terpuji.

Karenanya, konsepsi pemberdayaan dalam Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik) menyangkut berbagai aspek dan sendi-sendi dasar kehidupan. Rancangan model pemberdayaan yang harus dibangun pun harus mengacu pada hal-hal tersebut.(*)

GOENAWAN WYBISANA
Asisten Deputi Program Tekno-Ekonomi IPTEK, Kemenristek

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233011/36/

1 komentar:

innas mengatakan...

pengaruh budaya asing yang mengarah pada hura-hura, kesenangan sesaat mengatas namakan kreasi atau "anak muda", bertitelkan "enjoy aja", telah membelenggu pemuda-pemuda muslim, membuai pikiran-pikiran pemuda muslim untuk jauh dari mengkaji agama, lihat saja TV-TV yang penuh dengan adegan ratusan atau bahkan ribuan anak-anak muda yang berdendang di Dring, Inbox, Dahsyat, dll, belum lagi yang bertebran di kuis-kuis...pemuda lebih suka mengarah pada aksi gerak seluruh tubuh (goyang) dari pada aksi gerakan mata untuk membaca. yang di rumah, memanjakan diri dengan tononan di TV tersebut ketimbang mengolah otak dengan kajian islami (termasuk saya sendiri...).
lalu bgaimanakah kita memberi wacana-wacana tentang kemiskinan ahlak yang terutama harus kita benahi??
sementara asiknya "ku tau yang kau mau" kata sprite, tak semenarik A'a gym yang berpoligami,
okelah kita mulai dari diri sendiri dulu, aggaplah saya (cie...) rajin membaca, dan berprilaku baik, satu atau dua teman mengikuti, namun, tak luput pula cerca dan hina seperti "sok suci" atau "sok alim" atau "sok-sok lainnya dari mereka yang telah terasuki "yang kumau" tadi, (saya pernah mengalami ini).
sedikit trauma c, tapi mo gimana lagi,,,
hm, kembali ke laptop, jadi bagaimana membrantas pengaruh-pengaruh yang terlanjur menstimulus kita itu????
apakah harusnya ada penyaringan dari pemerintah langsung (bagaimana caranya ya?) kepada budaya yang msuk ke dalam negri dari luar negeri, atau biarkan mereka masuk, dan kitalah yang pandai-pandai memilah???
tapi biasanya anak jika sedari kecil telah tumbuh dalam keluarga yang baik, maka gedenya jug abaik (mudahan), tapi setelah melihat sana-sini, ternyata kadang-kadang keluarga juga yang memberi hak penuh pada anak untuk memilih jalan,,bahkan mendorong pada anak untuk ikut pada hibur-hiburan tersebut...
jadi ...???
rasanya hal ini tak pernah lepas dari setiap roda kehidupan, selama era terus maju...dan berkembang!!! hidup Islam.