Sabtu, 20 Juni 2009

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam


Berbicara mengenai pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari persoalan kemiskinan sebagai objek dari pemberdayaan itu sendiri.

Pemberdayaan mempunyai filosofi dasar sebagai suatu cara mengubah masyarakat dari yang tidak mampu menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Sedangkan kemiskinan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, ada 2 (dua) kriteria dasar dalam persoalan kemiskinan. Pertama adalah kemiskinan secara ekonomi.

Dalam hal ini, kemiskinan dapat dilihat dengan indikator minimnya pendapatan masyarakat (kekurangan modal), rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan gizi, dan sebagainya, yang berpengaruh besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kedua, kemiskinan yang dipengaruhi pola tingkah laku dan sikap mental masyarakat,berbagai bentuk penyimpangan sosial, sikap pasrah (menerima apa adanya) sebelum berusaha,merasa kurang berharga, perilaku hidup boros, malas—walau dalam hal ini,Greetz pernah menghibur kita bahwa orang Jawa (maksudnya Indonesia) itu miskin bukan karena malas, tetapi justru malas karena dirundung kemiskinan yang berkepanjangan.

Namun, sikap-sikap di atas mempunyai pengaruh besar terhadap rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam dirinya sendiri. Dengan melihat kenyataan di atas tadi dapat kita tarik sebuah benang merah penilaian adanya kebijakan yang salah dalam pembangunan ekonomi pada tingkat makro sehingga pemerataan pembangunan dari konsepsi keadilan sosial tidak mengenai sasaran.

Kemudian penyimpangan dari pola tingkah laku dan nilai dasar norma yang berlaku dalam hal ini nilai-nilai dasar Islam. Persoalannya menjadi jelas,tinggal yang kita perlukan adalah analisis bagaimana Islam memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Ada dua hal mendasar yang diperlukan dalam mewujudkan “pemberdayaan menuju keadilan sosial” tersebut.

Pertama adalah pemahaman kembali konsep Islam yang mengarah pada perkembangan sosial kemasyarakatan, konsep agama yang dipahami umat Islam saat ini sangat individual, statis, tidak menampilkan jiwa dan ruh Islam itu sendiri. Kedua, pemberdayaan adalah sebuah konsep transformasi sosial budaya.Oleh karenanya,yang kita butuhkan adalah strategi sosial budaya dalam rangka mewujudkan nilai-nilai masyarakat yang sesuai dengan konsepsi Islam.

Kemiskinan dalam Perspektif Islam

Kemiskinan dalam pandangan Islam bukanlah sebuah azab maupun kutukan dari Tuhan. Namun disebabkan pemahaman manusia yang salah terhadap distribusi pendapatan (rezeki) yang diberikan.

Alquran telah menyinggung dalam surat 43 ayat 32. Perbedaan taraf hidup manusia adalah sebuah rahmat sekaligus “pengingat”bagi kelompok manusia yang lebih “berdaya” untuk saling membantu dengan kelompok yang kurang mampu. Pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan di kalangan umat Islam, sikap simpati dan empati terhadap sesama harus di pupuk sejak awal.Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7.

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa kemiskinan lebih banyak diakibatkan sikap dan perilaku umat yang salah dalam memahami ayat-ayat Allah SWT,khususnya pemahaman terhadap kepemilikan harta kekayaan. Dengan demikian,apa yang kemudian disebut dalam teori sosiologi sebagai “kemiskinan absolut” sebenarnya tidak perlu terjadi apabila umat Islam memahami secara benar dan menyeluruh (kaffah) ayat-ayat Tuhan tadi. Kemiskinan dalam Islam lebih banyak dilihat dari kacamata nonekonomi seperti kemalasan,lemahnya daya juang, dan minimnya semangat kemandirian.

Karena itu, dalam konsepsi pemberdayaan, titik berat pemberdayaan bukan saja pada sektor ekonomi (peningkatan pendapatan, investasi, dan sebagainya), juga pada faktor nonekonomi. Rasulullah SAW telah memberikan suatu cara dalam menangani persoalan kemiskinan. Konsepsi pemberdayaan yang dicontohkan Rasulullah SAW mengandung pokok-pokok pikiran sangat maju, yang dititikberatkan pada “menghapuskan penyebab kemiskinan”bukan pada “penghapusan kemiskinan”semata seperti halnya dengan memberikan bantuan- bantuan yang sifatnya sementara (temporer).

Demikian pula, di dalam mengatasi problematika tersebut, Rasulullah tidak hanya memberikan nasihat dan anjuran, tetapi beliau juga memberi tuntunan berusaha agar rakyat biasa mampu mengatasi permasalahannya sendiri dengan apa yang dimilikinya, sesuai dengan keahliannya. Rasulullah SAW memberi tuntunan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia dan menanamkan etika bahwa bekerja adalah sebuah nilai yang terpuji.

Karenanya, konsepsi pemberdayaan dalam Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik) menyangkut berbagai aspek dan sendi-sendi dasar kehidupan. Rancangan model pemberdayaan yang harus dibangun pun harus mengacu pada hal-hal tersebut.(*)

GOENAWAN WYBISANA
Asisten Deputi Program Tekno-Ekonomi IPTEK, Kemenristek

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233011/36/

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat

Terjadinya kegagalan pada model pembangunan pada masa lalu, menyadarkan akan perlunya reorientasi baru dalam pembangunan, yaitu pendekatan pembangunan yang memperhatikan lingkungan dan pembangunan yang berwajah manusiawi. Pendekatan tersebut menempatkan manusia sebagai factor kunci yang memainkan peran penting dalam segala segi. Proses pembangunan hendaknya sebagai suatu proses yang populis, konsentrasi pembangunan lebih pada ekonomi kerakyatan, dengan mengedepankan fasilitas pembangunan pada usaha rakyat kecil.

Bertolak dari model pembangunan yang Humanize tersebut maka dibutuhkan program-program pembangunan yang memberikan prioritas pada upaya memberdayakan masyarakat. Dalam konteks Good Governance ada tiga pilar yang harus menopang jalannya proses pembangunan, yaitu masyarakat sipil, pemerintah dan swasta. Oleh karena itu SDM/ masyarakat menjadi pilar utama yang harus diberdayakan sejak awal.

Dalam pembangunan perekonomian rakyat untuk memberdayakan rakyat hendaklah disertai transformasi secara seimbang, baik itu transformasi ekonomi, social, budaya maupun politik. Sehingga akan terjadi keseimbangan antara kekuatan ekonomi, budaya, social dan budaya.

Dengan adanya pemberdayaan, masyarakat dapat menjalankan pembangunan dengan diberikan hak untuk mengelola sumber daya yang ada. Masyarakat miskin diberikan kesempatan untuk merencanakan dan melaksanakan pogram pembangunan yang telah mereka tentukan. Dengan demikian masyarakat diberi kekuasaan untuk mengelola dana sendiri, baik yang berasal dai pemerintah maupun pihak lain.

Menurut Winarni dalam Sulistiyani (2004:79), inti dari pemberdayaan ada tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi masyarakat tidak menyadari, atau bahkan belum diketahui. Oleh karena itu, daya harus digali, dan kemudian dikembangkan.

Berdasarkan asumsi tersebut maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian.

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih mandiri. Dimana kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

Kondisi kognitif adalah kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu perilaku yang terbentuk yang diarahkan pada perilaku yang sensitive terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif adalah sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan untuk diintervensi dalam mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kondisi psikomotorik merupakan kecakapan ketrampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan pembangunan.

Terjadinya keberdayaan dalam empat aspek tersebut akan memberikan kontribusi pada tercapainya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan ketrampilan, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya tersebut.

Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap akan memperoleh kemampuan. Dengan proses belajar tersebut akan diperoleh kemampuan/daya dari waktu ke waktu. Yang diharapkan dari adanya pemberdayaan adalah untuk mewujudkan komunitas yang baik, masyarakat yang ideal. Menurut Montagu & Matson dalam Suprijatna ( Suprijatna, Tjahja, 2000:13) dalam the Dumanization of Man, yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency adalah :

1) Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi, adanya kelompok juga kelompok primer.

2) Komunitas memiliki otonomi yaitu kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab.

3) Memiliki vialibilitas yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

4) Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan riil, bebas memiliki dan menyatakan kehendak.

5) Kesempatan setiap anggota masyaakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama.

6) Komunitas memberi makna kepada anggota.

7) Adanya heterogenitas dan beda pendapat.

8) Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan.

9) Adanya konflik dan managing konflik.

Sedangkan untuk melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi sebagi berikut :

1) Mampu mengidentifikasikan masalah dan kebutuhan komunitas.

2) Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.

3) Mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui.

4) Mampu Bekerjasama rasional dalam bertindak mencapai tujuan.

Pada awalnya upaya memberdayakan masyarakat pasti dihadapkan pada suatu kondisi masyarakat atau bagian dari masyarakat yang masih dalam posisi dan kondisi yang lemah. Oleh karena itu untuk meningkatkan komunitas yaitu dengan 9 langkah konsep komunitas yang didukung dengan 4 kompetensi agar dapat mengantarkan masyarakat mampu untuk memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.

Tahap – Tahap Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap – tahap yang harus dilalui tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kesadaran tinggi.

b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan.

c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inlovatif untuk mengantarkan kemandirian.

Tahap pertama merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran akan kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Pada tahap kedua masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Sehingga akan bertambah wawasan dan kecakapan-ketrampilan dasar yang mereka butuhkan.

Tahap ketiga adalah tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan ketrampilan yang diperlukan, agar mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri malakukan pembangunan.

Pemberdayaan Masyarakat

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “.
2. Sedangkan didalam UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegas-kan bahwa “Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat “.
3. Mencermati rumusan kebijakan pemerintah didalam dua dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi daerah“. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
4. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “.
5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Badan Pemberda-yaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat sbb :

a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat).

b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah : “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui :
- Peningkatan keswadayaan masyarakat.
- Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
- Pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
- Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.
- Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah : “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup“ Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah :
- Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
- Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat.
- Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat.
- Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan.
- Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat.
- Pendekatan lintas sektor dan program.
- Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

A. SEKRETARIAT

1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.

2. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan Program Masuk Desa.

3. Peraturan Daerah Nomor : 9 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.

4. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 52 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah.

B. BIDANG KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT.

1. Keputusan Presiden RI Nomor : 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.

2. Instruksi Presiden RI Nomor : 5 Tahun 1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.

3. Instruksi Presiden RI Nomor : 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS).

4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 25 Tahun 1996 tentang Data Dasar Profil Desa/Kelurahan.

5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 6 Tahun 2002 tentang Perlombaan Desa dan Perlombaan Kelurahan.

6. Keputusan Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 18 Tahun 2001 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 9 Tahun 2001 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.

8. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 53 Tahun 2000 tentang Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Mutu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

10. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 17 Tahun 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.

11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 28 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Perpustakaan Desa/Kelurahan.

12. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1985 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Program TNI-ABRI Masuk Desa.

C. BIDANG USAHA EKONOMI MASYARAKAT.

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO CONVENTION Nomor : 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Pengha-pusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

2. Keputusan Presiden RI Nomor : 124 Tahun 2001 jo Nomor : 8 Tahun 2002 jo Nomor : 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak.

4. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 412.21/748/BPM tanggal 3 Juli 2001 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Proyek PMPD/CERD.

5. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 140/1824/PMD tanggal 12 Desember 2000 Tindak Lanjut Program Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K).

D. BIDANG PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA.

1. Instruksi Presiden RI Nomor : 3 Tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 4 Tahun 2001 tentang Penerapan Teknologi Tepat Guna.
3. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 414.2/842/PMD tanggal 12 Juli 2002 Petunjuk Teknis Operasional PPK.
4. Surat Deputi Bidang Regional dan Sumber Daya Alam Bappenas Nomor : 2874/D.IV/06/2001 tanggal 5 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Pengembangan Prasarana Perdesaaan (P2D).

Sabtu, 13 Juni 2009

Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Community Development Program (Program Pemberdayaan Masyarakat) merupakan suatu progam / proyek yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, Partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan.
Terpuruknya perekonomian negara ditambah semakin merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara langsung membuat masyarakat menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat, pengangguran yang sudah mencapai 40 juta, keluarga jalanan dan anak jalanan menjadi masalah sosial yang menonjol di perkotaan; anak-anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan makin bertambah, masalah kriminalitas yang makin meningkat, ditambah dengan masalah sosial lainnya yang membuat masyarakat tidak berdaya memenuhi kebutuhan pokoknya

Pola pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya, karena yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan

Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: " as the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress". (Luz. A. Einsiedel 1968:7).

Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.

US International Cooperation Administration mendeskripsikan Community Development itu sebagai :
" a process of social action in which the people of a community organized themselves for planning action; define their common and individual needs and problems; make group and individual plans with a maximum of reliance upon community resources; and supplement the resources when necessary with service and material from government and non-government agencies outside the community ". ( The Community Development Guidlines of the International Cooperation Administration, Community Development Review, December,1996,p.3).

Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.

Melengkapi kedua definisi di atas, Arthur Dunham seorang pakar Community Development merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
"organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization.(Arthur Dunham 1958: 3).

Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.

Arthur Dunham membedakan "Community Development" dengan "Community Organization" : community development is concerned with economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned with adjustment of social welfare needs and resources in cities, states, and nations as in rural villages.

Jadi community development lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization identik dengan pembangunan masyarakat kota.

Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 unsur-unsur Community development sebagai berikut.
1. a plan program with a focus on the total needs of the village community;
2. technical assistance;
3. integrating various specialities for the help of the community; and
4. a major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the
community


Dari definisi Community Development di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Community Development merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan.
Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap
demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut
dan evaluasi - follow-up activity and evaluation.
2. Community Development bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi,
sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
3. Community Development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-
potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
4. Community Development memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya
partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi
yang dimiliki masyarakat.

Community Development dengan segala kegiatannya dalam pembangunan menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need . Metode kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia - ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani - yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan

Sepotong tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Sepotong tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pengembangan masyarakat (community development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurung waktu tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan teori Sumber daya manusia. Teori ekologik mengemukakan tentang “batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat diperbaruhi perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori ekologik menyarankan kebijaksanaan pertumbuhan diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk.

Teori Sumber daya manusia memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyak penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan. Teori sumber daya manusia diklasifikasikan kedalam teori yang menggunakan pendekatan yang fundamental.[1]

Community development juga bisa didefinisikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas. [2]

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan masyarakat adalah yang pertama, melaksanakan perintah agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan. Kedua, adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia itu bersaudara. Sehingga pengembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya. [3]

Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:

Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan.
Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pendekatan politik.
Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat.[4]

Jumat, 12 Juni 2009

Teori kekuasaan
Oleh : Anton Praptono, S.H.

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.

2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke

John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).

Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:

a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).

Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.

Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
GERAKAN SOSIAL

Ada bermacam jenis gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan.

Pertama, Gerakan Protes.
Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.

Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.

Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi.
Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.

Ketiga, Gerakan Religius.
Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia.
Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

Kelima, Gerakan Perpindahan.
Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

Keenam, Gerakan Ekspresif.
Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

Ketujuh, Kultus Personal.
Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.

PENDEKATAN MIKRO, MEZZO DAN MAKRO DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

PENDEKATAN MIKRO, MEZZO DAN MAKRO DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Secara Sederhana metode Perubahan Sosial Terencana (termasuk didalamnya Pengembangan Masyarakat) dapat diklasifikasikan berdasarkan level intervensinya

Level intervensi dibagi menjadi tiga:
1. Level Mikro (individu, keluarga dan kelompok kecil)
2. Level Mezzo/ Low Level Macro Intervention (organisasi, komunitas lokal)
3. Level Makro/ High Level Macro Intervention (masyarakat luas, pengembangan kebijakan sosial, perundang-undangan sosial)

Model klasifikasi (intervensi) yang lain:
1. Tingkat Individu, keluarga dan kelompok kecil
2. Tingkat Organisasi
3. Tingkat Komunitas Lokal
4. Tingkat Masyarakat Luas (regional, propinsi, nasional)
5. Tingkat Global

Tahap-tahap Casework (Intervensi Level Mikro):
1. Penyadaran akan adanya masalah
2. Penjalinan relasi lebih mendalam dengan caseworker
3. Motivasi
4. Konseptualisasi Masalah
5. Eksplorasi Strategi Mengatasi Masalah
6. Seleksi Strategi Mengatasi Masalah
7. Implementasi
8. Evaluasi

Model-model intervensi level keluarga
1. Model-Model Psikodinamik
2. Model-Model Eksperiensial
3. Model-Model Transgenerasional
4. Model Struktural
5. Model-Model Strategis
6. Model Milan
7. Model-Model Kognitif-Perilaku

Model Groupwork (untuk level kelompok kecil),memiliki tiga perspektif:
• Perspektif yang berorientasi pada penyembuhan (Remedial Orientation)
• Perspektif yang menjembatani antara perspektif remedial dan tujuan sosial (Reciprocal Orientation)
• Perspektif yang berorientasi pada tujuan sosial (Social goals Orientation)

Model Intervensi Level Komunitas:
Menurut Glen:
1. Community Development
2. Community Action
3. Community Service Approach

Menurut Rothman:
1. Locality Development
2. Social Action
3. Social Planning Policy

Menurut Popple:
1. CommunIty Care
2. Community Organization
3. Community Development
4. Social Community Planning
5. Community Education
6. Community Action

Strategi Intervesi:
1. Pendekatan Direktif (Instruktif)
2. Pendekatan Non Direktif (Partisipatif)

Tahapan intervensi Komunitas Lokal:
1. Tahap Persiapan (Engagement)
2. Tahap Pengkajian (Assessment)
3. Tahap Perencanaan Alternatif Program (Designing 1)
4. Tahap Penformulasian Rencana Aksi (Designing 2)
5. Tahap Pelaksanaan Program (Implementation)
6. Tahap Evaluasi (Evaluation)
7. Tahap Terminasi (Disengagement)

Peran Community Worker:
Peran-Peran Fasilitatif:
1. Animator Sosial
2. Mediator
3. Negosiator
4. Motivator
5. Membentuk Konsensus
6. Fasilitator Kelompok
7. Organisator
8. Memanfatkan Sumber Daya dan Ketrampilan

Peran-Peran Edukasional:
1. Membangkitkan Kesadaran Masyarakat
2. Menyampaikan Informasi
3. Mengkonfrontasikan
4. Pelatihan

PERILAKU SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

PERILAKU SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

Perilaku Menyimpang
Penyimpangan dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan dengan norma-norma di masyarakat, artinya penyimpangan tersebut terjadi jika seseorang tidak mematuhi patokan norma yang sudah ada. Disfungsi dari perilaku menyimpang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan sosial, karena tatanan sistem yang sudah ada dapat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena ada individu yang tidak dapat menjalankan tugasnya dalam sistem masyarakat . Selain itu perilaku menyimpang mempunyai fungsi antara lain menghasilkan perilaku yang konform pada sebagian besar masyarakat agar tetap berjalan di jalur yang sudah ditentukan, memperkuat ikatan kelompok dan perilaku menyimpang dapat menyebabkan perubahan sosial agar sistem berjalan secara benar.
Secara teoritis perilaku menyimpang dapat dijelaskan melalui penjelasan biologis, psikologis dan sosiologis. Secara sosiologis perilaku menyimpang dianalisis dari perspektif struktural, transmisi budaya, konflik dan perspektif labelling di mana setiap perspektif mempunyai fokus permasalahannya masing-masing dalam melihat perilaku menyimpang .
Sering kali suatu perilaku dianggap menyimpang di suatu masyarakat tetapi tidak menyimpang di masyarakat lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan relativitas perilaku menyimpang di mana pandangan relativisme melihat bahwa penyimpangan dapat di interpretasi hanya dalam konteks sosio kultural di mana penyimpangan tersebut terjadi. Relativisme tersebut berkaitan dengan waktu, tempat, situasi dan status sosial.
Perilaku Kolektif
Ahli sosiologi menggunakan istilah perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa , sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang rutin.
Secara teoritis perilaku kolektif dapat dijelaskan dari berbagai sudut teori antara lain teori penyebaran, teori interaksionis, teori emergent-norm dan teori value-added. Kondisi pokok yang memicu munculnya perilaku kolektif menurut teori value-added adalah: kesesuaian struktural, ketegangan struktural, berkembangnya kepercayaan umum, faktor yang mendahului, mobilisasi dan kontrol sosial.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi casual, conventional, expresive, dan acting. Gerakan sosial mempunyai bentuk antara lain gerakan revolusioner, reformis, konservatif dan gerakan reaksioner, sedangkan revolusi sosial salah satu contoh dari gerakan sosial.

Kontrol Sosial
Kontrol sosial mengacu pada suatu proses baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan, di mana dalam proses kontrol sosial tersebut masyarakat dibuat agar mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat . Masyarakat berharap bahwa individu di dalam dirinya sendiri sudah muncul kesadaran untuk mematuhi norma dan mempunyai perilaku yang konform dengan aturan di masyarakat, artinya bahwa perilaku konformi tas itu bersifat inheren di dalam diri individu. Meskipun demikian ada sebagian besar manusia yang harus dilatih untuk menjalankan konformitas di mana proses sosialisasi terlibat di dalamnya. Melalui proses sosialisasi seseorang akan mempelajari perilaku apa yang dapat diterima berkaitan dengan berbagai situasi yang akan dia hadapi, selain itu ia akan belajar perilaku mana yang pantas dan tidak pantas untuk ia laksanakan.
Bentuk kontrol sosial berkaitan dengan pemberian sanksi baik yang berupa hukuman maupun imbalan pada perilaku yang disetujui maupun tidak disetujui oleh masyarakat. Di dalam masyarakat ada berbagai bentuk kontrol sosial seperti bahasa, gosip, ostratisme, intimidasi serta kekerasan fisik yang umumnya dilakukan oleh individu terhadap individu lain. Apapun bentuk kontrol sosial yang dilaksanakan semua itu bertujuan untuk mengembalikan individu yang melakukan perilaku menyimpang maupun untuk mencegah orang untuk menyimpang dan konform terhadap nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat .

Pengantar Sosiologi karya Wawan Hermawan

PERILAKU KERUMUNAN (CROWD)

A.PERILAKU KERUMUNAN (CROWD)

1. Definisi Perilaku Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd). Le Bon mengisahkan bahwa semasa Revolusi Perancis, kerumunan rakyat menyerbu penjara Bastille, kerumunan berhasil membujuk seorang tukang daging yang kebetulan berada di tempat itu karena rasa ingin tahu saja untuk menyembelih Gubernur penjara Bastille.
Mengenai kerumunan Kornblum mendefinisikannya sebagai sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat, Giddens mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum dan Light Keller serta Calhoun mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan dipengaruhi orang lain . Sederhananya kita bersandar pada definisi yang diberikan Yusron Razak bahwa kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan.

2. Faktor-faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Mengenai faktor penyebab kerumunan didapatkan dua teori dari buku Kamanto Sunarto (pengantar sosiologi,2004), yaitu teori Le Bon dan teori Smelser, sedangkan faktor pembatas kerumunan didapatkan satu teori dari buku Yusron Razak (sosiologi suatu pengantar, 2008), yaitu teori Lohman.

Teori Penyebab Perilaku Kerumunan

Teori Le Bon, menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
1.Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.

2. Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.

3.Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival music Pop.

4. Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .

Teori Smelser. menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
1. structural conduciveness (struktur situasi sosial yang kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial.

2. structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan.

3. growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak.

4. precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan.
5. mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
6. the operation of social control (berlangsungnya pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat menghambat, mencegah, mengganggu ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Meskipun khalayak berada dalam situasi yang memudahkan perilaku kolektif, sedang mengalami ketegangan struktural karena adanya berbagai kesenjangan, telah meyakini kebenaran desas-desus yang beredar, telah didorong oleh faktor pemicu yang menunjang mereka dan telah dimobilisasi untuk melakukan perilaku kolektif, namun kehadiran suatu faktor pengendalian sosial seperti kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar atau kehadiran tokoh masyarakat yang disegani dapat menghambat atau bahkan menggagalkan perilaku kolektif yang akan dilaksanakan.
Teori Pembatas Perilaku Kerumunan
Horton dan Hunt (1999), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor:
(1) kebutuhan, emosi para anggota,
(2) nilai-nilai para anggota;
(3) kepeminpinan kerumunan
(4)kontrol eksternal terhadap kerumunan.
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat keamanan.
Seorang sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) pernah menulis buku mengenai perilaku kerumunan dan cara mengatasi kerumunan sebagai berikut:
1. Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
2. Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
3. Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
4. Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri, dan
5. Melakukan penekanan dalam latihan pendidikan kepolisian untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan fatal .


3. Bentuk-bentuk Perilaku Kerumunan
Perilaku kerumunan diklasifikasikan menjadi empat (4) jenis, yaitu kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional (convensional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd), dan kerumunan bertindak (acting crowd).kerumunan sambil lalu (casual crowd)

Ketika ada kecelakaan di jalan dan ada yang terluka, orang cenderung berkerumun untuk memerhatikan kejadian tersebut. Begitu juga ada kebakaran, atau peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian, orang-orang datang dan pergi, hanya secara sambil lalu memberikan perhatian pada suatu sasaran tertentu, dan interaksi satu sama lain sangat terbatas, inilah yang dinamakan kerumunan sambil lalu (casual crowd).kerumunan konvensional (convensional crowd)

Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus)seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai suatu tujuan sesuai aturan yang ada, inilah yang dinamakan kerumunan konvensional (convensional crowd).kerumunan ekspresif (expressive crowd)

Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan. inilah yang dinamakan kerumunan ekspresif (expressive crowd). Selain itu juga dikenal istilah Orgy, artinya kerumunan yang di dalamnya orang melakukan pelampiasan secara berlebihan yang biasanya tidak dibenarkan oleh aturan,seperti bermabuk-mabukan atau melakukan pergaulan bebas.kerumunan bertindak (acting crowd).

Di Kota Jos, Nigeria, pada hari Ahad 30 November 2008 tersebar desas-desus kecurangan pemilihan lokal dan menimbulkan sengketa. Sebagai akibat desas-desus tersebut mengakibatkan pertempuran di antara kelompok yang terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok Muslim dan Kristen, Setidaknya 367 mayat telah dibawa dan diidentifikasi di sebuah masjid. Beberapa jam sebelumnya, pecah pertempuran antara geng-geng Muslim dan Kristen di kota yang terletak di jantung Nigeria tersebut. Berdasarkan berita yang dilansir Reuters, Minggu (30/11/2008) kedua belah pihak yang bertikai telah membakar sejumlah rumah, masjid, maupun gereja, diduga korban berjatuhan akan semakin bertambah . Perilaku kerumunan seperti ini diklasifikasikan sebagai kerumunan yang bertindak, sekumpulan orang yang memusatkan perhatian pada suatu hal yang merangsang kemarahan mereka dan membangkitkan hasrat untuk bertindak. Huru-hara atau yang semacamnya juga merupakan perilaku kerumunan bertindak .

Rabu, 27 Mei 2009

TEORI KONTRAK SOSIAL HOBBES, LOCKE, ROUSSEAU

TEORI KONTRAK SOSIAL HOBBES, LOCKE, ROUSSEAU
Pengantar
Ada empat teori tentang terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan, teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik.
Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat.
Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan, sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan.
Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya. Walau pun secara prinsip Tuhan sumber kewenangan, tampak pula bahwa akhirnya manusia (baca: rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya.
Thomas Aquinas, misalnya pula, mengembangkan pemikiran tentang principium (prinsip), modus (cara) dan exercitium (pelaksanaan) dari kewenangan. Aquinas secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya kewenangan bersumber pada Tuhan, bahwa cara kewenangan dioperasikan ditentukan oleh manusia, dan bahwa pelaksanaannya pun dilakukan oleh manusia.
Dari pemikiran Konfucu dan Aquinas tadi sebenarnya tampak benih-benih atau dasar-dasar bagi perkembangan teori kontrak sosial.
Tulisan ini hanya membahas nuansa-nuansa dalam teori kontrak sosial. Bahasan tentang teori kontrak sosial ini pun dibatasi pada tiga karya pemikir utamanya, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau. Untuk menjamah segi praktisnya, tulisan ini juga diakhiri dengan pembahasan hipotetis tentang pengaruh-pengaruh masing-masing segi pemikiran dalam pola-pola kehidupan bernegara, baik kalangan pemerintah mau pun masyarakat biasa.
Teori Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Kontrak Sosial: Hobbes
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak Sosial: Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Kontrak Sosial: Rousseau
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). [Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. [Rousseau: 231-2.]
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya, Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Penutup
Sumbangan pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke dan Rousseau di atas bisa membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah maupun pihak rakyat yang diperintah. Dalam praktik kehidupan perilaku politik, masing-masing sumbangan pemikiran itu sering mewarnai kehidupan dan perilaku politik.
Amerika Serikat, misalnya, walaupun secara tegas mengoper teori kontrak sosial dari Locke, akan tetapi tidak jarang praktik-praktik politik pemerintahnya diwarnai oleh teori kontrak sosial dari Hobbes dan Rousseau. Teori Hobbes yang mengandung dasar-dasar teori kekuasaan prerogatif, paling tidak telah mewarnai tindakan-tindakan Presiden Abraham Lincoln, Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan Richard Nixon.
Lincoln, Wilson dan Roosevelt bahkan berhasil menikmati praktik-praktik politik yang lebih dekat dengan teori Hobbes daripada teori Locke karena keadaan darurat (Perang Saudara, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) memang memberi peluang “Leviathan memanfaatkan hak prerogatifnya.” Nixon, sebaliknya, harus kalah karena ia memamerkan praksis teori Hobbes pada saat masyarakat sedang menggandrungi praksis teori Rousseau. [Basis Susilo, “The Constitutional Role of the US President in Foreign Policy,” makalah 1985, tidak diterbitkan.]
Walaupun teori kontrak sosial mendasari pemikiran politik suatu masyarakat, akan tetapi dinamika kehidupan dan perilaku masing-masing harus dibedakan apakah yang mewarnai Hobbes, Locke atau Rousseau. Apabila yang lebih mewarnai adalah Hobbes, maka kehidupan dan praktik perilaku politik rakyat hanya ditandai dengan kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa, sementara penguasa akan merasa leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan tuntutan politik dari rakyatnya.
Apabila yang lebih mewarnai adalah teori kontrak sosial dari Locke, maka kehidupan dan perilaku politik masyarakat tentu mengandung ciri-ciri tertentu, seperti pemerintah berhati-hati dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen amat vokal dalam mengontrol dan berperan dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan kritik-kritik.
Upaya untuk memahami dan menjelaskan kehidupan dan perilaku politik atau kebudayaan politik suatu entitas tertentu dapat menggunakan pola-pola pemikiran politik untuk dijadikan salah satu pokok analisis. Konsep-konsep dasar tentang sumber kewenangan dan pengoperasian yang mana yang berada di benak suatu masyarakat, atau yang “mengalir di dalam darah” masyarakat itu? Apakah teori kontrak sosial, atau bukan? Apabila teori kontrak sosial, yang mana? Dari Hobbes, Locke, Rousseau, Hume, atau lainnya?
Pemanfaatan analisis tentang bekerjanya teori-teori tentang asal negara dan sumber kewenangan untuk menjelaskan kehidupan, perilaku, atau kebudayaan politik sampai saat ini belum dikembangkan. Barangkali, ada kesulitan untuk mengukur bekerjanya teori-teori asal-mula negara dan sumber kewenangan di dalam suatu masyarakat, karena sifatnya yang amat abstrak.
Akan tetapi, bila mulai dicoba, tentu ada cara untuk mengukur bekerjanya teori itu dalam praksis kemasyarakatan. Salah satu cara yang mumngkin bisa digunakan adalah dengan mengkaji isi pesan-pesan dan semangat di dalam literatur-literatur atau cerita-cerita yang digemari masyarakat, seperti yang dilakukan oleh David C. McClelland ketika mencari nAch pelbagai masyarakat.
[I Basis Susilo]* Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik terbitan FISIP Unair, Tahun II, No 2, Triwulan 1, 1988.
Teori Pembangunan Masyarakat
Penulis: Suharyanto
Aufie’s scripts

TEORI PEMBANGUNAN MASYARAKAT

TEORI : ungkapan mengenai hubungan kausal (sebab akibat)yang logis diantara berbagai gejala/perubahan (variabel) dalambidang tertentu (ex. Pembangunan) sehingga teori dapatdigunakan sebagai kerangka berfikir (frame of thinking) dalam memahami serta menanggapi permasalahan yang timbul dalam bidang tertentu (ex. Pembangunan)
Teori dapat dianggap batal/gagal karena tidak terbukti/terujikebenarannya
Ex. Teori Darwin :manusia beasal dari manusia sejenis kera yang mengalami evolusi menjadi manusia modern
Agama,ukuran kebenarannya berdasarkan keyakinan
Science ,ukuran kebenarnnya berdasarkan empiris (ada
bukti/nyata) dan logis (masuk akal)

STRATEGI: rangkaian kebijakan dan pelaksanaan dalam rangka
mencapai tujuan/memecahkan persoalan tertentu (ex.
Kemiskinan)
VARIABEL: konsep yang mempunyai variasi nilai
Agama/Keyakinan X Science/Empiris & logis

Hubungan Teori & Strategi

Contoh:
Spidol = konsep
manakala menjadi “manfaat” spidol: untuk menulis etc. = menjadi variabel

Pendidikan = konsep
manakala menjadi “jenis” pendidikan: formal,nonformal, informal, menjadi variabel


PENGERTIAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT
Menurut PBB:
Pembangunan Masyarakat/Pembangunan Komunitas adalah suatu
proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun
kegiatan pemerintahan dalam rangka memperbaiki kondisi
ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan Masyarakat Desa = Rural Community Development
Komunitas / community = masyarakat yang berada dalam batasbatas wilayah tertentu

Menurut Sanders, PM dapat dipandang pada:
1. Proses
2. Program, ext. Raskin, BLT
3. Gerakan, ex. KB untuk pembatasan kalahiran
4. Metode

Menurut Jim Ife: Enam Dimensi PM
1. SOSIAL
2. POLITIK
3. LINGKUNGAN.
4. BUDAYA
5. SPIRITUAL
6. EKONOMI

PM dari aspek spiritual ex. Program kerja KKN dengan
mengadakan pengajian di lokasi KKN
PM dari aspek lingkungan ex. Penanaman pohon dalam lingkup RW,
kerja bakti pembersihan lingk. etc.


Fokus Perhatian Pembangunan Masyarakat

Menurut Soetomo:
PM adalah proses perubahan yang bersifat multi dimensi menuju
kondisi semakin terwujudnya hubungan yang serasi antara
NEEDS and RESOURCES melalui pengembangan kapasitas
masyarakat untuk membangun.
Ex. Daerah Kasongan mempunyai sumber daya berupa tanah liat,
sedangkan di masyarakat dibuthkan produk gerabah. Berarti
dalam hal ini terjadilah pembangunan masyarakat dari produksi
tanah liat (gerabah) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Fokus perhatian PM = masyarakat

Terfokus pada aspek ekonomi yakni
meningkatkan pendapatan,
mengentaskan kemiskinan,
meningkatkan produksi

Terfokus pada aspekmasyarakat yakni : mengelola, membina,melayani masyarakat

COMMUNITY BASED DEVELOPMENT

Awal tahun 1951 PM dimaknai sebagai pendidikan, karena
dengan pendidikan diharapkan dapat terwujudnya pembangunan
bagi masyarakat.
Proses PM:
1. Rendahnya modal finansial
2. Minimnya sarana infrastruktur (jalan, sarana transport)
3. Rendahnya kesadaran masyarakat (kedisiplinan kurang)
4. Rendahnya kualitas SDM
5. Rendahnya komunikasi, informasi dan koordinasi
6. Berkurangnya tokoh panutan (tokoh masyarakat)

Keberhasilan pembangunan dapat diukur dari:
1. Terberantasnya pengangguran
2. Terberantasnya kemiskinan
Bank Dunia memberikan ukuran pendapatan minimal $2 per hari per kepala
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya

Bacaan tambahan:
Kompas 12 November 2001: Tabel Utang Luar Negeri
Kompas 20 Feberuari 2005: mengenai Multinational Corporation

Pengertian Pembangunan:

•Pembangunan adalah proses perubahan dari suatu kondisi
tertentu ke kondisi yang lebih baik
•Tetapi tidak setiap perubahan dapat disebut
pembangunan

TEORI PEMBANGUNAN
1. Teori Modernisasi
2. Teroi Ketergantungan
3. Teori Pasca Ketergantungan
4. Teori Alternatif

Teori Modernisasi; sebuah negara mengakui bahwa negara berjalan secara linear
dari tradisional menuju kearah modernisasi
ex. SekarangRPJM & PPJP
Tetapi, ada suatu negara yang arahnya seperti di bawah ini:

Teori Ketergantungan:meyakini bahwa sebuah negar tidak akan lepas dari negar lain

Teori Pasca Ketergantungan: negara yang kecil dimungkinkan lepas dari negara adidaya
melejit sendiri

Teori Alternatif; berharap negara-negara yang selama ini salaing berkompetisi
dalam hal persenjataan bergerak ma seakan-akan tidak ada
perang

Contoh-Contoh Teori Modernisasi

1. Harrod Domar è menekankan aspek ekonomi = Teori TABUNGAN & INVESTASI
menekankan bahwa pembangunan masyarakat hanya
merupakan masalah penyediaan modal dan investasi
Pembangunan tidak lain adalah investasi/invest/penanaman
modal.
Pembangunan
Investasi
Produksi
Income
Kesejateraan
Tabungan
Utang LN
Investor
Masyarakat
Negara

Keterangan:
Dengan investasi maka menghasilkan produksi
Untuk bisa berproduksi diperlukan tenaga kerja
Dengan adanya produksi maka ada income/pendapatan
Income untuk tenaga kerja dan negara dalam bentuk pajak
Karena ada income maka ada kesejahteraan

Pasca reformasi, krisis, terjadi capital flight
Capital Flight:larinya modal ke luar negeri. Modal tidak
ditanamkan di Indoneisa tetapi di luar negeri
Disebabkan beberapa masalah:
- Buruh
•banyak buruh yang tidak dibutuhkan
•banyak buruh yang banyak tuntutan
ex. SONY (Jepang) Maret 2004 hijrah ke Malaysia
karena adanya permaslahan tersebut sehingga menjadi masalah bagi investor
- Perijinan
- Pungutan liar

Sehingga untuk memecahkan persoalan keterbelakangan pada
negara-negara dunia ketiga adalah dengan mencari tambahan
modal dari dalam maupun luar melalui penanaman modal atau
utang luar negeri.
Utang LN Indonesia dari 1969 s.d. 2001 dapat dlihat dalam
Kompas 12 Nov 2001 hal. 8
Bahkan dalam rangka utang dibentuk konsorsium (Kompas, 9
Nov. 2001)

2. David McCleland è menekankan aspek psikologi individu = DORONGAN BERPRESTASI
= n-ACH = NEED FOR ACHIEVEMENT, bagi McCleland mendorong proses pembangnan berarti
membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach-nya yang tinggi.
Ex. Yang duduk di kelas ini berorientasi untuk berprestasi
Human capital theory: semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi
keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka
semakin tinggi tingkat produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong tingginya tingkat pendapatan



3. Max Weber = ETIKA PROTESTAN
teori Weber tentang peran agama dalam pembentukan kapitalisme merupakan sumber aliran ini. Apabila nilai-nilai yang hisup dalam masyarakat (agama) dapat diarahkan kepada sikap yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi maka proses pembangunan dalam mayarakat tersebut dapat terlaksana.
Etika Protestan lahir di Eropa melalui agama Protestan oleh Calvin, mengatakan bahwa seseorang setelah mati akan masuk surga atau neraka. Tetapi manusia tidak mengetahui sehingga mereka menjadi tidak tenang, cemas karena ketidakjelasan nasibnya.

Indikatornya dapat dilihat pada saat hidup di dunia:
• jika seseorang sukses/berhasil di dunia tanda-tanda
masuk surga
• jika seseorang gagal di dunia tanda-tanda masuk
neraka

Dengan indikator tersebut maka pengikutnya belajar/berjuang untuk mencapai indikator masuk surga.
Agama + Ekonomi = Pembangunan

4. Rostow = LIMA TAHAP PEMBANGUNAN
proses pembangunan bergerak dalam sebuah garis lurus yakni masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Lima tahap pembangunan:
1. Masyarakat Tradisional
2. Prakondisi untuk Lepas Landas
3. Lepas Landas
4. Bergerak ke Kedewasaan
5. Jaman Konsumsi Masal yang Tinggi

5. Bert F. Hoselitz = FAKTOR-FAKTOR NON EKONOMI
membahas faktor-faktor non ekonomi yang ditinggalkan Rostow yang disebut sebagai Faktor Kondisi Lingkungan yang dapat dicari dalam masyarakat ex. keterampilan tertentu menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas

6. Alex Inkeles & David H. Smith = MANUSIA MODERN
menekankan lingkungan material, dalam hal ini lingkungan
pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk
manusia modern yang bisa membangun.



BEBERAPA MODEL PEMBANGUNAN

1. Model Pembangunan yang Berorientasi pada Pertumbuhan (ECONOMIC GROWTH)
yakni kenaikan pendapatan nasional dalam jangka waktu
misal per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
penyerapan Tenaga Kerja.

Oleh karena itu, proses pembangunan menjadi terpusat pada
produksi, antara lain melalui:
a. akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam
bentuk tanah, peralatan fisik dan SDM
b. peningkatan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun
kualitas
c. kemajuan teknologi yakni cara baru untuk menggantikan
pekerjaan-pekarjaan yang bersifat tradisional

2. Model Pembangunan Kebutuhan Dasar/Kesejateraan (BASIC NEEDS)
Lahir dari prakarsa Gunnar MyrdallModel ini mencoba memecahkan masalah kemiskinan secara langsung dengan memenuhi segala kebutuhan dasarmasyarakat khususnya masyarkat miskin misal dengan memenuhi kebuthan sandang, pangan, perumahan, serta akses
terhadap pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi, dll.
Perumahan ex. KPR BTN
Pendidikan ex. Wajib belajar 9 tahun SD Inpres(imbas
dari top Down)
Kesehatan ex. Puskesmas
Kelebihan:
- target terpenuhi
- target segera tercapai
- memecahkan masalah tanpa masalah

Kelemahan:
- pemerintah harus banyak uang
- masyarakat menjadi manja, tergantung, tidak mempunyai
kreativitas ex. Menunggu bantuan

3. Model Pembangunan yang Berpusat pada Manusia (PEOPLE CENTERED)
fokus sentral proses pembangunanadalah peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan sustainability sehingga model ini berwawasan
lebih jauh dari sekedar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan pelayanan sosial.

Ex. Empowering/pemberdayaan
Peranan pemerintah sebagai fasilitator
Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan manusia untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong
perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.

Economic Growth ; trickle down effect: rembesan
kemakmuran ke bawah
Ex. Edi Tansil diberi privillage/fasilitas kredit atau keringanan
pajak,setelah mencapai kemakmuran diharapkan luberan/tetesan/rembesan kemakmuran sampai ke bawah.(tetapi yang terjadi adalah investment flight)

Rekayasa Ulang Sosial – Social Reengineering

Rekayasa Ulang Sosial – Social Reengineering

Oleh : Sigit B.Darmawan

Michael Hammer dan James Champy dalam bukunya berjudul “Reengineering the Corporation” memperkenalkan suatu revolusi dalam perbaikan proses bisnis yang bersifat radikal dan dramatik, karena terjadinya perubahan yang fundamental dalam paradigma dan rancangan proses bisnis.
Ide rekayasa bisnis (Reengineering Corporation) ini mendorong perubahan strategi dan proses bisnis berbagai korporasi Amerika sehingga mampu bersaing kembali dengan korporasi-korporasi Jepang, melalui berbagai inovasi kualitas, pelayanan, dan kecepatan dalam mengadaptasi perubahan. Korporasi Jepang unggul dalam kemampuan inovasi yang berkelanjutan, melalui konsep dan ide Managemen Mutu Terpadu atau TQM (Total Quality Management) dan konsep-konsep inovasi lainnya, yang bercirikan: effisiensi, penurunan biaya, fleksibilitas, dan penciptaan kualitas yang handal.

Rekayasa Bisnis ini digambarkan sebagai sebuah major surgery, karena bersifat fundamental dan berorientasi kepada perubahan proses. Dikatakan fundamental, karena rekayasa ini berdampak kepada terjadinya : perubahan paradigma (shift paradigm) dari inward to outward, hilangnya hierarchy, dan perbaikan yang didorong oleh pasar yang berubah (market driven). Konsep ini akhirnya mulai diterapkan di berbagai korporasi di Indonesia sebagai sebuah keharusan yang tidak terhindarkan, karena berbagai alasan: deregulasi pasar bebas, globalisasi pemain bisnis dan pasar bisnis, hambatan yang semakin rendah dari aliran barang dan jasa, dan ekspektasi pasar akan barang dan jasa yang terus berubah.

Jika konsep rekayasa bisnis ini mampu merubah kinerja dan kemampuan inovasi berbagai korporasi di Indonesia dalam persaingan di pasar global, maka sangatlah mungkin ide yang sama diterapkan dalam membangun kemampuan inovasi dan daya saing masyarakat, melalui sebuah proses rekayasa sosial (social reengineering). Rekayasa sosial ini mutlak diperlukan, karena kualitas sumber daya manusia Indonesia yang rendah. Hal ini tercermin dalam indeks pembangunan dan indeks kualitas hidup Indonesia yang berada di urutan bawah dalam daftar United Nations. Jika sebuah proses rekayasa sosial tidak dilakukan, maka konsekuensinya adalah: kita menjadi bangsa yang tidak mampu memberdayakan resources yang kita miliki secara optimal, sehingga daya saing kita menjadi rendah dan tidak kompetitif di dunia global.

Visi dalam Rekayasa Sosial

Proses rekayasa sosial ini memerlukan sebuah visi sebagai lokomotif perubahan. Jika kita tidak memiliki visi bangsa, maka kita hanya berjalan dalam paradigma dan nilai yang lama. Visi ini akan membuat nilai-nilai baru yang akan menjadi acuan dalam proses rekayasa sosial tersebut. Tentu saja kita tidak mengabaikan nilai-nilai sosial lama yang terbukti secara positif mampu mendorong produktivitas masyarakat.

Visi ini akan menciptakan suatu paradigma baru yang akan mendorong terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Kemampuan kita dalam mensikapi perubahan global sangat dipengaruhi oleh paradigma yang kita miliki sebagai bangsa. Paradigma adalah sekelompok nilai, budaya, regulasi/aturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang memberikan kepada kita cara pandang dalam melihat sesuatu dan cara menyikapinya untuk menjadi berhasil. Paradigma lama sebagai bangsa yang memiliki sumber alam dengan julukan : “gemah ripah low jinawi”, “tanah surga”, “tongkat dan batu jadi tanaman” tetapi tanpa kemampuan pengelolaan yang memadai, harus kita buang dan singkirkan dengan sebuah visi baru untuk mengelolanya dengan paradigma global.

Pemerintah sudah mencanangkan Visi Bangsa 2030. Inilah visi yang sejatinya akan menjadi lokomotif perubahan dalam proses rekayasa sosial. Dalam berbagai survei keberhasilan rekayasa bisnis korporasi, maka kepemimpinan puncak sangat menentukan dalam mendorong keberhasilan sebuah proses rekayasa. Visi bangsa akan memiliki kemampuan merubah paradigma bangsa, hanya jika kepemimpinan puncak pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi sponsor yang handal dan konsisten dalam proses rekayasa sosial ini.

Proses Rekayasa Sosial

Ada dua tahap penting dalam proses rekayasa sosial ini. Tahap pertama adalah merancang sistem dan struktur proses. Dalam tahap pertama ini sangat penting mengindentifikasi proses-proses sosial dan memilih proses-proses sosial yang memenuhi kriteria untuk di rekayasa, yaitu: proses sosial yang mengalami disfungsi/rusak dan sangat bermasalah, proses sosial yang dari aspek kepentingan dan dampaknya terhadap masyarakat sangat besar, dan proses yang paling mungkin dari sumberdaya untuk dilakukan rekayasa. Kita perlu memilih secara selektif proses sosial yang ingin direkayasa. Karena proses rekayasa tersebut adalah major surgery, maka tidak mungkin kita melakukan rekayasa semua proses sosial yang sedang bermasalah.

Pemerintah perlu memilih satu atau dua proses sosial yang akan direkayasa dalam skala nasional. Dalam proses rekayasa sosial skala nasional tersebut akan terdapat subproses-subproses sosial yang perlu direkayasa dalam skala yang lebih kecil, dan seterusnya.

Dalam proses identifikasi dan analisa sosial, perlu dimengerti penyakitnya, bukan gejalanya. Slogan penting dalam proses rekayasa tersebut adalah threat the disease, not the symptom. Misalkan, jika proses birokrasi kita sangat tidak responsive dalam mendukung daya saing masyarakat kira, seperti birokrasi yang lambat, bertele-tele, tidak efisien, maka perlu dikenali secara mendalam penyakit yang membuat proses birokrasi yang buruk tersebut. Karena kita berpikir “proses”, maka identifikasi tersebut bisa bersifat lintas fungsi atau peran di negara kita.

Dalam tahap merancang ulang proses sosial ini, maka kita perlu mencari pembanding (benchmark) untuk proses yang sama di negara lain yang lebih maju, dan mencari terobosan atau inovasi untuk menyederhanakan proses yang ada.

Tahap kedua adalah implementasi proses rekayasa. Jika sebuah proses sudah diidentifikasi dan dibuat inovasi prosesnya, maka hal tersulit adalah implementasi dari proses sosial yang sudah direkayasa tersebut. Tahap ini adalah tahap transformasi dari aksi ke peran, sikap, mental, norma, nilai dan akhirnya budaya atau kultural. Proses rekayasa sosial harus sampai kepada perubahan budaya di masyarakat. Misalkan, jika kita berbicara tentang layanan birokrasi di negara kita, maka sekali proses ini disederhanakan, maka dalam tahap implementasinya harus mampu merubah kultur aparat pemerintahan untuk memberikan layanan kepada masyarakat dengan kualitas prima. Tranformasi kultural inilah yang menjadi kunci dalam perubahan sosial secara radikal dan fundamental masyarakat kita untuk semakin inovatif, produktif, dan kompetitif dalam persaingan global.

Keberhasilan Rekayasa Sosial

Merubah kultur sosial bukanlah persoalan mudah, karena perlu langkah perbaikan yang berkelanjutan dan bersifat jangka panjang. Perubahan sosial ini juga membutuhkan partisipasi dan peran dari setiap fungsi di masyarakat. Karena itu komunikasi sosial adalah kunci utama dalam membangun kesiapan masyarakat dalam mengikuti proses rekayasa sosial ini. Pemerintah sebagai bagian penting dalam kepemimpinan rekayasa sosial ini perlu memikirkan upaya untuk membangun komunikasi sosial yang efektif dan berkelanjutan dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam implementasinya. Berbagai sarana komunikasi media massa dapat menjadi alat kampanye untuk mendorong partisipasi dan peran masyarakat tersebut.

Dukungan dan perhatian dari kepemimpinan puncak eksekutif dalam proses rekayasa sosial ini adalah kunci utama lainnya dalam memastikan berjalannya proses tranformasi sosial ini. Tentu dibutuhkan teladan, komitmen, konsistensi, inspirasi, motivasi dalam kepemimpinan untuk mendorong keberhasilan proses rekayasa sosial ini. Karena rekayasa sosial ini adalah proses yang radikal untuk merubah kultur sosial, maka diperlukan kepemimpinan yang secara aktif terus terlibat dalam setiap proses implementasinya dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang berpotensi mengagalkan proses transformasi kultural tersebut.

Proses implementasi rekayasa sosial tersebut juga harus selalu mendengar suara masyarakat. Seluruh proses rekayasa sosial adalah society focus. Karena itu umpan balik, kritikan, dan keluhan dari masyarakat adalah ukuran apakah proses rekayasa sosial tersebut sudah berjalan baik atau tidak. Proses rekayasa sosial yang berhasil akan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam daya saing, produktivitas, dan inovasi.

Tentu saja proses yang panjang ini harus dimulai dari sebuah komitmen dan tekad, yang dimulai dari kepemimpinan nasional sampai ke masyarakat. Jika negara lain mampu melakukan transformasi sosial dan kultural dalam membangun kejayaan bangsanya, maka dengan sumberdaya yang kita miliki, seharusnya kita bisa bertranformasi menjadi bangsa yang mampu bersaing di tingkat global. Semoga.