TEORI KRITIS- TRANSFORMATIF
Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Nama Madzhab Frankfurt adalah nama yang lazim dilekatkan pada sekelompok Ilmuwan yang berkomitmen terhadap proyek dan asumsi-asumsi dasar modernitas.
Kritik mereka terutama sekali menghunjam pada tiga sasaran, yakni :
1. Marxisme Tradisional, yang dibekukan menjadi alat kepentingan ideologis bagi Uni Soviet di tangan Lenin
2. Kritik Metodologi/Positivisme (istilah metodologi hanya dimiliki oleh Positivisme), dan
3. Kritik terhadap Rasionalitas Instrumental milik Max Weber
Para Ilmuwan Sekolah Frankfurt memusatkan kegiatan dan penelitian mereka di Institut for Social Research di Frankfurt am Main, Jerman. Sekolah Frankfurt adalah akademi yang para tokohnya berasal dari berbagai latar disiplin keilmuan yang berbeda. Para tokohnya antara lain Frederich Pollock (ekonom dan politisi), Erich Fromm (psiko-analis), Herbert Marcuse (filsuf), Max Horkheimer (sosiolog), Theodore W. Adorno (musisi, sosiolog, dan filsuf). Karena komitmen mereka yang mendalam terhadap modernitas, maka pemikiran mereka terangkum dalam satu lingkup yang bernama Madzhab. Pemikiran mereka terutama sekali didorong oleh trauma yang mendalam pada dan pasca Perang Dunia II (sebagian besar tokoh M. Frankfurt adalah keturunan Yahudi, sehingga selama PD II, mereka harus mengungsi ke Amerika Serikat. Waktu itu Institut dipimpin oleh Max Horkheimer). Tokoh yang disebutkan di atas adalah tokoh Sekolah Frankfurt Generasi Pertama. Sedangkan, nanti di kemudian hari, ada Jurgen Habermas, generasi Kedua, yang diklaim sebagai pemecah kebuntuan epistemologis yang dihadapi oleh Generasi Pertama, tapi ane gak setuju sama klaim ini .
KRITIK TERHADAP MARXISME TRADISIONAL
Marxisme pada awalnya memberikan perhatian yang besar terhadap keterasingan manusia (alienasi). Para komentator Marx sendiri secara spesifik membedakan pemikiran Marx menjadi Marx Muda dan Marx Tua. Marx Muda masih mencerminkan semangat Hegelian yang menyala-nyala. Hegel mengasumsikan jalannya sejarah secara dialektis (tesis-antitesis-sintesis). Pada puncaknya, adalah Roh Absolut. Roh Absolut ini dalam tafsiran Hegelian adalah Negara. Negara, sebagaimana diskusi kita terdahulu, adalah negara ala Yunani dan Romawi Kuno. Itulah cerminan Ideal bagi masyarakat Eropa, termasuk Hegel. Marx Muda sangat mengimpikan masyarakat yang seperti ini. Ia adalah seorang filsuf yang humanis. Karya-karyanya di masa muda, seperti The Paris Manuscripts, German Ideology, ataupun The Communist Manifesto adalah karya-karya yang mencerminkan semangat Hegelian yang menyala-nyala dalam dada Marx. Namun, ini berubah secara drastis dalam karya monumentalnya, Das Kapital. Kita tidak akan menjumpai sistem filsafat ataupun sistem logika yang memungkinkan lahirnya sebuah ideologi. Marx sesungguhnya punya rencana besar dalam rangka membebaskan manusia dari belenggu alienasi. Jalan yang ditempuhnya untuk itu adalah revolusi.
Tapi, kita tau bahwa revolusi proletariat sebagaimana diimpi-impikan Marx ini tidak pernah ada. Satu-satunya revolusi sosialis yang sukses menjatuhkan feodalisme, kaum borjuis kecil dan tuan-tuan tanah hanyalah Revolusi Bolsyeviks tahun 1917. Tapi, inipun bukan murni Marxisme, ini hanyalah penerjemahan Lenin atas Marx. Bukan Marxisme yang didapat, melainkan Marxisme-Leninisme. Dan, kita tau lagi bahwa Leninisme telah menjadi sistem logika yang mendasari pemerintahan totaliter ala Uni Soviet.
Dari sinilah Sekolah Frankfurt memulai kritiknya. Mereka mengawalinya dengan menganalisa patologi modernitas, yang terangkum dalam logika kapitalisme lanjut. Kapitalisme bukan lagi soal pemasaran hasil produksi, melainkan lebih jauh bagaiman barang-barang itu didistribusikan dan dapat diterima oleh konsumen. Untuk itu, maka produsen harus mampu menekan kesadaran konsumen (termasuk para kaum buruh) untuk menerima produk mereka. Dan, konsumen (termasuk kaum buruh juga), toh enjoy-enjoy saja. Inilah yang disebut Marcuse dengan toleransi represif manusia modern. Mereka tau sebuah produk tidak benar-benar mereka perlukan, namun mereka tidak dapat mengelak dari mengonsumsinya.
Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi.
Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi.
Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
Kritik dalam pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a. bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c. tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.
Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain..
Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.
Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong.
Jumat, 22 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
ruzita,
apakah dalam kehidupan masyarakat yang masih tradisional bisa di masukkan ke dalam bemtuk dari teori kritis,jika di gabungkan antara modernitas dan tradisional,menurut bapak apakah di dalam teori madhab kritis hanya berbicara masalah modernitas saja atau penggabungan antara modernitas dengan tradisional??mungkin saya juga belun bisa mengaplikasikan masyarakat yang hidup di lingkungan sekitar saya apakah termasuk dalam teori ini atau tidak.karena masih banyak masyarakat yang hidup tradisional.
ruzita...
bingung pak...
apakah semua analisis di pakai semua dalam mengaplikasikan teori ke dalam realita masyarakat??seperti analisis kritis,analisis ekonomi,analisis struktur,dll.dalam teorimadhab kritis semuanya harus di pakai atau hanya memiih salah satunya yang termasuk dalam kriteria masyarakat??
1. Silahkan anda mengkomparasikan sendiri, bagaimana fenomena yang anda maksud tersebut ketika dibaca dengan menggunakan teori -teori yang ada.
2. Caranya adalah pahami dulu point-point penting yang terdapat dalam teori-teori yang ada. Kemudian pemahaman yang sudah dapat anda dapatkan tersebut gunakan untuk melihat fenomena/ realita yang ada dalam masyarakat.
Posting Komentar