Sabtu, 20 Juni 2009

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam

Pemberdayaan dalam Perspektif Islam


Berbicara mengenai pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari persoalan kemiskinan sebagai objek dari pemberdayaan itu sendiri.

Pemberdayaan mempunyai filosofi dasar sebagai suatu cara mengubah masyarakat dari yang tidak mampu menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Sedangkan kemiskinan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, ada 2 (dua) kriteria dasar dalam persoalan kemiskinan. Pertama adalah kemiskinan secara ekonomi.

Dalam hal ini, kemiskinan dapat dilihat dengan indikator minimnya pendapatan masyarakat (kekurangan modal), rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan gizi, dan sebagainya, yang berpengaruh besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kedua, kemiskinan yang dipengaruhi pola tingkah laku dan sikap mental masyarakat,berbagai bentuk penyimpangan sosial, sikap pasrah (menerima apa adanya) sebelum berusaha,merasa kurang berharga, perilaku hidup boros, malas—walau dalam hal ini,Greetz pernah menghibur kita bahwa orang Jawa (maksudnya Indonesia) itu miskin bukan karena malas, tetapi justru malas karena dirundung kemiskinan yang berkepanjangan.

Namun, sikap-sikap di atas mempunyai pengaruh besar terhadap rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam dirinya sendiri. Dengan melihat kenyataan di atas tadi dapat kita tarik sebuah benang merah penilaian adanya kebijakan yang salah dalam pembangunan ekonomi pada tingkat makro sehingga pemerataan pembangunan dari konsepsi keadilan sosial tidak mengenai sasaran.

Kemudian penyimpangan dari pola tingkah laku dan nilai dasar norma yang berlaku dalam hal ini nilai-nilai dasar Islam. Persoalannya menjadi jelas,tinggal yang kita perlukan adalah analisis bagaimana Islam memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Ada dua hal mendasar yang diperlukan dalam mewujudkan “pemberdayaan menuju keadilan sosial” tersebut.

Pertama adalah pemahaman kembali konsep Islam yang mengarah pada perkembangan sosial kemasyarakatan, konsep agama yang dipahami umat Islam saat ini sangat individual, statis, tidak menampilkan jiwa dan ruh Islam itu sendiri. Kedua, pemberdayaan adalah sebuah konsep transformasi sosial budaya.Oleh karenanya,yang kita butuhkan adalah strategi sosial budaya dalam rangka mewujudkan nilai-nilai masyarakat yang sesuai dengan konsepsi Islam.

Kemiskinan dalam Perspektif Islam

Kemiskinan dalam pandangan Islam bukanlah sebuah azab maupun kutukan dari Tuhan. Namun disebabkan pemahaman manusia yang salah terhadap distribusi pendapatan (rezeki) yang diberikan.

Alquran telah menyinggung dalam surat 43 ayat 32. Perbedaan taraf hidup manusia adalah sebuah rahmat sekaligus “pengingat”bagi kelompok manusia yang lebih “berdaya” untuk saling membantu dengan kelompok yang kurang mampu. Pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan di kalangan umat Islam, sikap simpati dan empati terhadap sesama harus di pupuk sejak awal.Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7.

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa kemiskinan lebih banyak diakibatkan sikap dan perilaku umat yang salah dalam memahami ayat-ayat Allah SWT,khususnya pemahaman terhadap kepemilikan harta kekayaan. Dengan demikian,apa yang kemudian disebut dalam teori sosiologi sebagai “kemiskinan absolut” sebenarnya tidak perlu terjadi apabila umat Islam memahami secara benar dan menyeluruh (kaffah) ayat-ayat Tuhan tadi. Kemiskinan dalam Islam lebih banyak dilihat dari kacamata nonekonomi seperti kemalasan,lemahnya daya juang, dan minimnya semangat kemandirian.

Karena itu, dalam konsepsi pemberdayaan, titik berat pemberdayaan bukan saja pada sektor ekonomi (peningkatan pendapatan, investasi, dan sebagainya), juga pada faktor nonekonomi. Rasulullah SAW telah memberikan suatu cara dalam menangani persoalan kemiskinan. Konsepsi pemberdayaan yang dicontohkan Rasulullah SAW mengandung pokok-pokok pikiran sangat maju, yang dititikberatkan pada “menghapuskan penyebab kemiskinan”bukan pada “penghapusan kemiskinan”semata seperti halnya dengan memberikan bantuan- bantuan yang sifatnya sementara (temporer).

Demikian pula, di dalam mengatasi problematika tersebut, Rasulullah tidak hanya memberikan nasihat dan anjuran, tetapi beliau juga memberi tuntunan berusaha agar rakyat biasa mampu mengatasi permasalahannya sendiri dengan apa yang dimilikinya, sesuai dengan keahliannya. Rasulullah SAW memberi tuntunan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia dan menanamkan etika bahwa bekerja adalah sebuah nilai yang terpuji.

Karenanya, konsepsi pemberdayaan dalam Islam adalah bersifat menyeluruh (holistik) menyangkut berbagai aspek dan sendi-sendi dasar kehidupan. Rancangan model pemberdayaan yang harus dibangun pun harus mengacu pada hal-hal tersebut.(*)

GOENAWAN WYBISANA
Asisten Deputi Program Tekno-Ekonomi IPTEK, Kemenristek

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233011/36/

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat

Terjadinya kegagalan pada model pembangunan pada masa lalu, menyadarkan akan perlunya reorientasi baru dalam pembangunan, yaitu pendekatan pembangunan yang memperhatikan lingkungan dan pembangunan yang berwajah manusiawi. Pendekatan tersebut menempatkan manusia sebagai factor kunci yang memainkan peran penting dalam segala segi. Proses pembangunan hendaknya sebagai suatu proses yang populis, konsentrasi pembangunan lebih pada ekonomi kerakyatan, dengan mengedepankan fasilitas pembangunan pada usaha rakyat kecil.

Bertolak dari model pembangunan yang Humanize tersebut maka dibutuhkan program-program pembangunan yang memberikan prioritas pada upaya memberdayakan masyarakat. Dalam konteks Good Governance ada tiga pilar yang harus menopang jalannya proses pembangunan, yaitu masyarakat sipil, pemerintah dan swasta. Oleh karena itu SDM/ masyarakat menjadi pilar utama yang harus diberdayakan sejak awal.

Dalam pembangunan perekonomian rakyat untuk memberdayakan rakyat hendaklah disertai transformasi secara seimbang, baik itu transformasi ekonomi, social, budaya maupun politik. Sehingga akan terjadi keseimbangan antara kekuatan ekonomi, budaya, social dan budaya.

Dengan adanya pemberdayaan, masyarakat dapat menjalankan pembangunan dengan diberikan hak untuk mengelola sumber daya yang ada. Masyarakat miskin diberikan kesempatan untuk merencanakan dan melaksanakan pogram pembangunan yang telah mereka tentukan. Dengan demikian masyarakat diberi kekuasaan untuk mengelola dana sendiri, baik yang berasal dai pemerintah maupun pihak lain.

Menurut Winarni dalam Sulistiyani (2004:79), inti dari pemberdayaan ada tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi masyarakat tidak menyadari, atau bahkan belum diketahui. Oleh karena itu, daya harus digali, dan kemudian dikembangkan.

Berdasarkan asumsi tersebut maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian.

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih mandiri. Dimana kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

Kondisi kognitif adalah kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu perilaku yang terbentuk yang diarahkan pada perilaku yang sensitive terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif adalah sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan untuk diintervensi dalam mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kondisi psikomotorik merupakan kecakapan ketrampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan pembangunan.

Terjadinya keberdayaan dalam empat aspek tersebut akan memberikan kontribusi pada tercapainya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan ketrampilan, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya tersebut.

Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap akan memperoleh kemampuan. Dengan proses belajar tersebut akan diperoleh kemampuan/daya dari waktu ke waktu. Yang diharapkan dari adanya pemberdayaan adalah untuk mewujudkan komunitas yang baik, masyarakat yang ideal. Menurut Montagu & Matson dalam Suprijatna ( Suprijatna, Tjahja, 2000:13) dalam the Dumanization of Man, yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency adalah :

1) Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi, adanya kelompok juga kelompok primer.

2) Komunitas memiliki otonomi yaitu kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab.

3) Memiliki vialibilitas yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

4) Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan riil, bebas memiliki dan menyatakan kehendak.

5) Kesempatan setiap anggota masyaakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama.

6) Komunitas memberi makna kepada anggota.

7) Adanya heterogenitas dan beda pendapat.

8) Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan.

9) Adanya konflik dan managing konflik.

Sedangkan untuk melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi sebagi berikut :

1) Mampu mengidentifikasikan masalah dan kebutuhan komunitas.

2) Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.

3) Mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui.

4) Mampu Bekerjasama rasional dalam bertindak mencapai tujuan.

Pada awalnya upaya memberdayakan masyarakat pasti dihadapkan pada suatu kondisi masyarakat atau bagian dari masyarakat yang masih dalam posisi dan kondisi yang lemah. Oleh karena itu untuk meningkatkan komunitas yaitu dengan 9 langkah konsep komunitas yang didukung dengan 4 kompetensi agar dapat mengantarkan masyarakat mampu untuk memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.

Tahap – Tahap Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap – tahap yang harus dilalui tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kesadaran tinggi.

b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan.

c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inlovatif untuk mengantarkan kemandirian.

Tahap pertama merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran akan kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Pada tahap kedua masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Sehingga akan bertambah wawasan dan kecakapan-ketrampilan dasar yang mereka butuhkan.

Tahap ketiga adalah tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan ketrampilan yang diperlukan, agar mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri malakukan pembangunan.

Pemberdayaan Masyarakat

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “.
2. Sedangkan didalam UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegas-kan bahwa “Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat “.
3. Mencermati rumusan kebijakan pemerintah didalam dua dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi daerah“. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
4. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “.
5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Badan Pemberda-yaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat sbb :

a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat).

b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah : “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui :
- Peningkatan keswadayaan masyarakat.
- Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
- Pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
- Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.
- Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah : “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup“ Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah :
- Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
- Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat.
- Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat.
- Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan.
- Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat.
- Pendekatan lintas sektor dan program.
- Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

A. SEKRETARIAT

1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.

2. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan Program Masuk Desa.

3. Peraturan Daerah Nomor : 9 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.

4. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 52 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah.

B. BIDANG KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT.

1. Keputusan Presiden RI Nomor : 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.

2. Instruksi Presiden RI Nomor : 5 Tahun 1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.

3. Instruksi Presiden RI Nomor : 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS).

4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 25 Tahun 1996 tentang Data Dasar Profil Desa/Kelurahan.

5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 6 Tahun 2002 tentang Perlombaan Desa dan Perlombaan Kelurahan.

6. Keputusan Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 18 Tahun 2001 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 9 Tahun 2001 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.

8. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 53 Tahun 2000 tentang Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Mutu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

10. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 17 Tahun 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.

11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 28 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Perpustakaan Desa/Kelurahan.

12. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1985 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Program TNI-ABRI Masuk Desa.

C. BIDANG USAHA EKONOMI MASYARAKAT.

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO CONVENTION Nomor : 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Pengha-pusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

2. Keputusan Presiden RI Nomor : 124 Tahun 2001 jo Nomor : 8 Tahun 2002 jo Nomor : 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak.

4. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 412.21/748/BPM tanggal 3 Juli 2001 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Proyek PMPD/CERD.

5. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 140/1824/PMD tanggal 12 Desember 2000 Tindak Lanjut Program Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K).

D. BIDANG PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA.

1. Instruksi Presiden RI Nomor : 3 Tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 4 Tahun 2001 tentang Penerapan Teknologi Tepat Guna.
3. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 414.2/842/PMD tanggal 12 Juli 2002 Petunjuk Teknis Operasional PPK.
4. Surat Deputi Bidang Regional dan Sumber Daya Alam Bappenas Nomor : 2874/D.IV/06/2001 tanggal 5 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Pengembangan Prasarana Perdesaaan (P2D).

Sabtu, 13 Juni 2009

Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Community Development Program (Program Pemberdayaan Masyarakat) merupakan suatu progam / proyek yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, Partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan.
Terpuruknya perekonomian negara ditambah semakin merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara langsung membuat masyarakat menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat, pengangguran yang sudah mencapai 40 juta, keluarga jalanan dan anak jalanan menjadi masalah sosial yang menonjol di perkotaan; anak-anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan makin bertambah, masalah kriminalitas yang makin meningkat, ditambah dengan masalah sosial lainnya yang membuat masyarakat tidak berdaya memenuhi kebutuhan pokoknya

Pola pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya, karena yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan

Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: " as the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress". (Luz. A. Einsiedel 1968:7).

Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.

US International Cooperation Administration mendeskripsikan Community Development itu sebagai :
" a process of social action in which the people of a community organized themselves for planning action; define their common and individual needs and problems; make group and individual plans with a maximum of reliance upon community resources; and supplement the resources when necessary with service and material from government and non-government agencies outside the community ". ( The Community Development Guidlines of the International Cooperation Administration, Community Development Review, December,1996,p.3).

Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.

Melengkapi kedua definisi di atas, Arthur Dunham seorang pakar Community Development merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
"organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization.(Arthur Dunham 1958: 3).

Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.

Arthur Dunham membedakan "Community Development" dengan "Community Organization" : community development is concerned with economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned with adjustment of social welfare needs and resources in cities, states, and nations as in rural villages.

Jadi community development lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization identik dengan pembangunan masyarakat kota.

Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 unsur-unsur Community development sebagai berikut.
1. a plan program with a focus on the total needs of the village community;
2. technical assistance;
3. integrating various specialities for the help of the community; and
4. a major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the
community


Dari definisi Community Development di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Community Development merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan.
Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap
demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut
dan evaluasi - follow-up activity and evaluation.
2. Community Development bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi,
sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
3. Community Development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-
potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
4. Community Development memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya
partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi
yang dimiliki masyarakat.

Community Development dengan segala kegiatannya dalam pembangunan menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need . Metode kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia - ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani - yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan

Sepotong tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Sepotong tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pengembangan masyarakat (community development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurung waktu tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan teori Sumber daya manusia. Teori ekologik mengemukakan tentang “batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat diperbaruhi perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori ekologik menyarankan kebijaksanaan pertumbuhan diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk.

Teori Sumber daya manusia memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyak penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan. Teori sumber daya manusia diklasifikasikan kedalam teori yang menggunakan pendekatan yang fundamental.[1]

Community development juga bisa didefinisikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas. [2]

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan masyarakat adalah yang pertama, melaksanakan perintah agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan. Kedua, adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia itu bersaudara. Sehingga pengembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya. [3]

Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:

Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan.
Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pendekatan politik.
Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat.[4]

Jumat, 12 Juni 2009

Teori kekuasaan
Oleh : Anton Praptono, S.H.

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.

2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke

John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).

Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:

a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).

Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.

Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
GERAKAN SOSIAL

Ada bermacam jenis gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan.

Pertama, Gerakan Protes.
Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.

Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.

Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi.
Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.

Ketiga, Gerakan Religius.
Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia.
Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

Kelima, Gerakan Perpindahan.
Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

Keenam, Gerakan Ekspresif.
Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

Ketujuh, Kultus Personal.
Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.

PENDEKATAN MIKRO, MEZZO DAN MAKRO DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

PENDEKATAN MIKRO, MEZZO DAN MAKRO DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Secara Sederhana metode Perubahan Sosial Terencana (termasuk didalamnya Pengembangan Masyarakat) dapat diklasifikasikan berdasarkan level intervensinya

Level intervensi dibagi menjadi tiga:
1. Level Mikro (individu, keluarga dan kelompok kecil)
2. Level Mezzo/ Low Level Macro Intervention (organisasi, komunitas lokal)
3. Level Makro/ High Level Macro Intervention (masyarakat luas, pengembangan kebijakan sosial, perundang-undangan sosial)

Model klasifikasi (intervensi) yang lain:
1. Tingkat Individu, keluarga dan kelompok kecil
2. Tingkat Organisasi
3. Tingkat Komunitas Lokal
4. Tingkat Masyarakat Luas (regional, propinsi, nasional)
5. Tingkat Global

Tahap-tahap Casework (Intervensi Level Mikro):
1. Penyadaran akan adanya masalah
2. Penjalinan relasi lebih mendalam dengan caseworker
3. Motivasi
4. Konseptualisasi Masalah
5. Eksplorasi Strategi Mengatasi Masalah
6. Seleksi Strategi Mengatasi Masalah
7. Implementasi
8. Evaluasi

Model-model intervensi level keluarga
1. Model-Model Psikodinamik
2. Model-Model Eksperiensial
3. Model-Model Transgenerasional
4. Model Struktural
5. Model-Model Strategis
6. Model Milan
7. Model-Model Kognitif-Perilaku

Model Groupwork (untuk level kelompok kecil),memiliki tiga perspektif:
• Perspektif yang berorientasi pada penyembuhan (Remedial Orientation)
• Perspektif yang menjembatani antara perspektif remedial dan tujuan sosial (Reciprocal Orientation)
• Perspektif yang berorientasi pada tujuan sosial (Social goals Orientation)

Model Intervensi Level Komunitas:
Menurut Glen:
1. Community Development
2. Community Action
3. Community Service Approach

Menurut Rothman:
1. Locality Development
2. Social Action
3. Social Planning Policy

Menurut Popple:
1. CommunIty Care
2. Community Organization
3. Community Development
4. Social Community Planning
5. Community Education
6. Community Action

Strategi Intervesi:
1. Pendekatan Direktif (Instruktif)
2. Pendekatan Non Direktif (Partisipatif)

Tahapan intervensi Komunitas Lokal:
1. Tahap Persiapan (Engagement)
2. Tahap Pengkajian (Assessment)
3. Tahap Perencanaan Alternatif Program (Designing 1)
4. Tahap Penformulasian Rencana Aksi (Designing 2)
5. Tahap Pelaksanaan Program (Implementation)
6. Tahap Evaluasi (Evaluation)
7. Tahap Terminasi (Disengagement)

Peran Community Worker:
Peran-Peran Fasilitatif:
1. Animator Sosial
2. Mediator
3. Negosiator
4. Motivator
5. Membentuk Konsensus
6. Fasilitator Kelompok
7. Organisator
8. Memanfatkan Sumber Daya dan Ketrampilan

Peran-Peran Edukasional:
1. Membangkitkan Kesadaran Masyarakat
2. Menyampaikan Informasi
3. Mengkonfrontasikan
4. Pelatihan

PERILAKU SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

PERILAKU SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

Perilaku Menyimpang
Penyimpangan dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan dengan norma-norma di masyarakat, artinya penyimpangan tersebut terjadi jika seseorang tidak mematuhi patokan norma yang sudah ada. Disfungsi dari perilaku menyimpang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan sosial, karena tatanan sistem yang sudah ada dapat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena ada individu yang tidak dapat menjalankan tugasnya dalam sistem masyarakat . Selain itu perilaku menyimpang mempunyai fungsi antara lain menghasilkan perilaku yang konform pada sebagian besar masyarakat agar tetap berjalan di jalur yang sudah ditentukan, memperkuat ikatan kelompok dan perilaku menyimpang dapat menyebabkan perubahan sosial agar sistem berjalan secara benar.
Secara teoritis perilaku menyimpang dapat dijelaskan melalui penjelasan biologis, psikologis dan sosiologis. Secara sosiologis perilaku menyimpang dianalisis dari perspektif struktural, transmisi budaya, konflik dan perspektif labelling di mana setiap perspektif mempunyai fokus permasalahannya masing-masing dalam melihat perilaku menyimpang .
Sering kali suatu perilaku dianggap menyimpang di suatu masyarakat tetapi tidak menyimpang di masyarakat lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan relativitas perilaku menyimpang di mana pandangan relativisme melihat bahwa penyimpangan dapat di interpretasi hanya dalam konteks sosio kultural di mana penyimpangan tersebut terjadi. Relativisme tersebut berkaitan dengan waktu, tempat, situasi dan status sosial.
Perilaku Kolektif
Ahli sosiologi menggunakan istilah perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa , sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang rutin.
Secara teoritis perilaku kolektif dapat dijelaskan dari berbagai sudut teori antara lain teori penyebaran, teori interaksionis, teori emergent-norm dan teori value-added. Kondisi pokok yang memicu munculnya perilaku kolektif menurut teori value-added adalah: kesesuaian struktural, ketegangan struktural, berkembangnya kepercayaan umum, faktor yang mendahului, mobilisasi dan kontrol sosial.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi casual, conventional, expresive, dan acting. Gerakan sosial mempunyai bentuk antara lain gerakan revolusioner, reformis, konservatif dan gerakan reaksioner, sedangkan revolusi sosial salah satu contoh dari gerakan sosial.

Kontrol Sosial
Kontrol sosial mengacu pada suatu proses baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan, di mana dalam proses kontrol sosial tersebut masyarakat dibuat agar mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat . Masyarakat berharap bahwa individu di dalam dirinya sendiri sudah muncul kesadaran untuk mematuhi norma dan mempunyai perilaku yang konform dengan aturan di masyarakat, artinya bahwa perilaku konformi tas itu bersifat inheren di dalam diri individu. Meskipun demikian ada sebagian besar manusia yang harus dilatih untuk menjalankan konformitas di mana proses sosialisasi terlibat di dalamnya. Melalui proses sosialisasi seseorang akan mempelajari perilaku apa yang dapat diterima berkaitan dengan berbagai situasi yang akan dia hadapi, selain itu ia akan belajar perilaku mana yang pantas dan tidak pantas untuk ia laksanakan.
Bentuk kontrol sosial berkaitan dengan pemberian sanksi baik yang berupa hukuman maupun imbalan pada perilaku yang disetujui maupun tidak disetujui oleh masyarakat. Di dalam masyarakat ada berbagai bentuk kontrol sosial seperti bahasa, gosip, ostratisme, intimidasi serta kekerasan fisik yang umumnya dilakukan oleh individu terhadap individu lain. Apapun bentuk kontrol sosial yang dilaksanakan semua itu bertujuan untuk mengembalikan individu yang melakukan perilaku menyimpang maupun untuk mencegah orang untuk menyimpang dan konform terhadap nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat .

Pengantar Sosiologi karya Wawan Hermawan

PERILAKU KERUMUNAN (CROWD)

A.PERILAKU KERUMUNAN (CROWD)

1. Definisi Perilaku Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd). Le Bon mengisahkan bahwa semasa Revolusi Perancis, kerumunan rakyat menyerbu penjara Bastille, kerumunan berhasil membujuk seorang tukang daging yang kebetulan berada di tempat itu karena rasa ingin tahu saja untuk menyembelih Gubernur penjara Bastille.
Mengenai kerumunan Kornblum mendefinisikannya sebagai sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat, Giddens mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum dan Light Keller serta Calhoun mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan dipengaruhi orang lain . Sederhananya kita bersandar pada definisi yang diberikan Yusron Razak bahwa kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan.

2. Faktor-faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Mengenai faktor penyebab kerumunan didapatkan dua teori dari buku Kamanto Sunarto (pengantar sosiologi,2004), yaitu teori Le Bon dan teori Smelser, sedangkan faktor pembatas kerumunan didapatkan satu teori dari buku Yusron Razak (sosiologi suatu pengantar, 2008), yaitu teori Lohman.

Teori Penyebab Perilaku Kerumunan

Teori Le Bon, menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
1.Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.

2. Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.

3.Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival music Pop.

4. Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .

Teori Smelser. menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
1. structural conduciveness (struktur situasi sosial yang kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial.

2. structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan.

3. growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak.

4. precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan.
5. mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
6. the operation of social control (berlangsungnya pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat menghambat, mencegah, mengganggu ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Meskipun khalayak berada dalam situasi yang memudahkan perilaku kolektif, sedang mengalami ketegangan struktural karena adanya berbagai kesenjangan, telah meyakini kebenaran desas-desus yang beredar, telah didorong oleh faktor pemicu yang menunjang mereka dan telah dimobilisasi untuk melakukan perilaku kolektif, namun kehadiran suatu faktor pengendalian sosial seperti kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar atau kehadiran tokoh masyarakat yang disegani dapat menghambat atau bahkan menggagalkan perilaku kolektif yang akan dilaksanakan.
Teori Pembatas Perilaku Kerumunan
Horton dan Hunt (1999), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor:
(1) kebutuhan, emosi para anggota,
(2) nilai-nilai para anggota;
(3) kepeminpinan kerumunan
(4)kontrol eksternal terhadap kerumunan.
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat keamanan.
Seorang sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) pernah menulis buku mengenai perilaku kerumunan dan cara mengatasi kerumunan sebagai berikut:
1. Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
2. Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
3. Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
4. Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri, dan
5. Melakukan penekanan dalam latihan pendidikan kepolisian untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan fatal .


3. Bentuk-bentuk Perilaku Kerumunan
Perilaku kerumunan diklasifikasikan menjadi empat (4) jenis, yaitu kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional (convensional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd), dan kerumunan bertindak (acting crowd).kerumunan sambil lalu (casual crowd)

Ketika ada kecelakaan di jalan dan ada yang terluka, orang cenderung berkerumun untuk memerhatikan kejadian tersebut. Begitu juga ada kebakaran, atau peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian, orang-orang datang dan pergi, hanya secara sambil lalu memberikan perhatian pada suatu sasaran tertentu, dan interaksi satu sama lain sangat terbatas, inilah yang dinamakan kerumunan sambil lalu (casual crowd).kerumunan konvensional (convensional crowd)

Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus)seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai suatu tujuan sesuai aturan yang ada, inilah yang dinamakan kerumunan konvensional (convensional crowd).kerumunan ekspresif (expressive crowd)

Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan. inilah yang dinamakan kerumunan ekspresif (expressive crowd). Selain itu juga dikenal istilah Orgy, artinya kerumunan yang di dalamnya orang melakukan pelampiasan secara berlebihan yang biasanya tidak dibenarkan oleh aturan,seperti bermabuk-mabukan atau melakukan pergaulan bebas.kerumunan bertindak (acting crowd).

Di Kota Jos, Nigeria, pada hari Ahad 30 November 2008 tersebar desas-desus kecurangan pemilihan lokal dan menimbulkan sengketa. Sebagai akibat desas-desus tersebut mengakibatkan pertempuran di antara kelompok yang terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok Muslim dan Kristen, Setidaknya 367 mayat telah dibawa dan diidentifikasi di sebuah masjid. Beberapa jam sebelumnya, pecah pertempuran antara geng-geng Muslim dan Kristen di kota yang terletak di jantung Nigeria tersebut. Berdasarkan berita yang dilansir Reuters, Minggu (30/11/2008) kedua belah pihak yang bertikai telah membakar sejumlah rumah, masjid, maupun gereja, diduga korban berjatuhan akan semakin bertambah . Perilaku kerumunan seperti ini diklasifikasikan sebagai kerumunan yang bertindak, sekumpulan orang yang memusatkan perhatian pada suatu hal yang merangsang kemarahan mereka dan membangkitkan hasrat untuk bertindak. Huru-hara atau yang semacamnya juga merupakan perilaku kerumunan bertindak .